greatness2045.com

HAJJ: WELCOME BACK TO THE LAND OF STRUGGLE

Oleh Legisan Samtafsir

Selamat datang kembali ke Tanah Air, wahai para Haji & Hajjah. Sejatinya, bukan kembali ke tanah air tapi ke tanah perjuangan. Inilah Indonesia. Bukan tanah tempat kita menunggu tua, sampai kematian datang, tapi tanah untuk kita berjuang hingga syahid menjemput. Inilah Indonesia; tanah tumpah darah, tanah medan juang bagi para Haji dan Hajjah.

The Land of Heroes

Indonesia is the land where heroes are born, a place where those who defend truth and justice are born, raised, and buried. History records, stretching from the Aceh Sea of Pasai to Ternate and Tidore in the East, not only islands but also the photos of heroes and the tombs of heroes line the path.

Those whose photos are displayed are people who, in their lifetime, were called to create and achieve, to advance their country, to educate and improve the welfare of its people, and those who were called to rise and defend the oppressed from unjust laws.

Now, we return from the Holy Land to the land of these heroes, the land where the spirits of our ancestors roam, calling the new generation of their descendants to continue their fighting spirit to build the nation, advance education, improve the economy, refine morals, and nurture a harmonious family.

The voices of these heroes’ spirits echo from their statues scattered along various streets, their photos in history textbooks, and posters displayed on billboards. Look at their faces, see and capture their spirit, and say to them, “I have returned from Hajj, and I will continue your spirit, heroes, to build this nation.”

The Land of Villains

If in this land there are photos of heroes, it means that this land has also been home to villains, because there will be no heroes without villains. And indeed, it was these villains that our heroes faced: the colonizers who came to seize the country’s wealth and plunder the people’s rights, over 400 years ago. Unfortunately, or sadly, they did not fight alone but cleverly collaborated with local elites who, proudly, became their compradors or henchmen.

This happened in the pre-independence era of our Republic. But after that, in the era of independence, the Old Order, the New Order, and even after the Reformation Order, was this country free from these villains? No. It turns out that the compradors also created their children. The hypocrites, the corrupt, and the ignorant, gave birth to a new generation. Villains also have offspring and descendants. Even the devil did not perish, even though humans constantly perish, one after another.

That is the fact we will continue to face. Are we intimidated? No. Are we pessimistic? No. We are, in fact, eager and bold in facing it. Why? Because we have just returned from Hajj. We have just returned from a battlefield training camp that is incredibly intense, a spectacular life-drama performance; it is the largest training in the world—Hajj.

After the Call of Hajj, Now Comes the Call of Jihad

If we have answered the call of the adhan and fulfilled the call of Hajj, then before the call of death approaches, we must first fulfill the call of jihad.

Jihad is a sincere and professional effort to create, achieve, give, serve, help, and assist others. That is the vast and endless field of jihad. It is the field of deeds where we continue to plant seeds of good actions.

According to the timeline, our lives are not long. Life will not last longer than 80-90 years. We just have to count how much time is left. That is our opportunity. An opportunity that, once passed, will never come again.

Therefore, our spirit and enthusiasm after Hajj must burn brightly to carry out the responsibility we have now; to create new, better opportunities, change what is wrong, and continue what has been good.

Mabrur: Fulfilling the Promise to be Better

Thus, after Hajj, we are challenged to prove our ability and commitment to fulfilling the call of jihad. The promise we made to live as Allah’s servants when we entered ihram, to guard ourselves, our speech, and our actions to be better, more sincere, and more earnest, must be fulfilled.

The promise we made at Arafah to become His khalifah, to create goodness and honor, must be realized. The promise to be pure-hearted and to keep ourselves free from bad traits, made when we stoned the Jamarat, must be fulfilled.

The promise to have faith and love for Allah, to be stronger and more patient, to be optimistic and never despair, made when we performed Tawaf, must be carried out. The promise to work hard, smart, and thoroughly, to be more loving, nurturing, and serving like Siti Hajar during Sa’i, must be maximized.

Closing

All the promises we made in the Holy Land must be realized, not just empty words. Hajj is not for travel, not for fulfilling a work assignment, not for earning the title of Hajj, but to prove and dedicate our lives, that after Hajj, we become better and more honorable.

Mabrur, in the end, is not a title for those who have performed Hajj unconditionally, but an effort to become better, which must be continuously realized by those who have performed Hajj. Fa’tabiru ya ulil albab.

http://greatness2045.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*

HAJI: SELAMAT KEMBALI KE TANAH PERJUANGAN

Oleh Legisan Samtafsir

Selamat datang kembali ke Tanah Air, wahai para Haji & Hajjah. Sejatinya, bukan kembali ke tanah air tapi ke tanah perjuangan. Inilah Indonesia. Bukan tanah tempat kita menunggu tua, sampai kematian datang, tapi tanah untuk kita berjuang hingga syahid menjemput. Inilah Indonesia; tanah tumpah darah, tanah medan juang bagi para Haji dan Hajjah.

Negeri Para Hero

Indonesia adalah negeri tempat lahirnya para pahlawan, negeri tempat para pembela kebenaran dan keadilan dilahirkan, dibesarkan dan dikuburkan. Sejarah mencatat, membentang luas dari Samudera Pasai Aceh hingga ke Ternate dan Tidore di Timur, bukan hanya berjejer pulau-pulau tapi berjejer pula foto-foto pahlawan dan taman-taman makam pahlawan.

Mereka yang fotonya dipajang itu adalah orang-orang yang semasa hidupnya terpanggil untuk berkarya dan berprestasi memajukan negerinya, mencerdaskan dan mensejahterakan rakyatnya, dan mereka yang terpanggil untuk bangkit membela orang-orang yang tertindas karena hukum yang zalim.

Kini kita kembali dari Tanah Suci ke tanah para pahlawan itu, tanah di mana arwah para leluhurnya bergentayangan, memanggil generasi baru anak cucunya untuk meneruskan semangat juang mereka membangun negeri, memajukan pendidikan, meningkatkan ekonomi, memperbaiki akhlak dan membina keluarga yang sakinah.

Suara arwah para pahlawan itu nyaring keluar dari patung-patungnya yang tersebar di berbagai jalanan, foto-fotonya yang ada di buku teks sejarah dan poster-posternya terpampang di berbagai baliho. Lihatlah wajah-wajah mereka, lihat dan tangkap semangatnya, lalu katakan kepada mereka, ‘aku telah pulang haji dan aku akan teruskan semangatmu para pahlawan membangun negeri ini’.

Negeri Para Bedebah

Jika di negeri ini berjejer foto-foto pahlawan, artinya di negeri ini pula pernah bercokol para bedebah, karena memang tidak akan ada pahlawan tanpa adanya bedebah. Dan benar, bedebah itulah yang dihadapi para pahlawan kita, yaitu penjajah yang datang merampas kekayaan negeri dan merampok hak milik warganya, sejak 400 tahun yang lalu. Sayangnya, atau sialnya, mereka tidak berdiri sendiri atau berjuang sendiri, tapi secara licik bekerja sama dengan para elit dalam negeri, yang seolah bangga menjadi kompradornya atau menjadi kaki tangannya.

Itu terjadi di masa pra kemerdekaan Republik ini. Tetapi sesudah itu, di era kemerdekaan, orde lama, orde baru bahkan setelah orde reformasi, bersihkah negeri ini dari para bedebah itu, tidak. Ternyata, komprador juga menciptakan anak-anaknya. Kaum munafikun, fasikun dan jahilun, melahirkan generasi baru. Bedebah juga beranak dan bercucu. Iblis bahkan tidak punah, padahal manusia yang selalu punah, silih berganti.

Itulah fakta yang akan terus kita hadapi. Gentarkah kita? Tidak. Pesimiskah kita? Tidak. Kita justru semangat dan gagah menghadapinya. Kenapa? Karena kita baru pulang haji. Kita baru kembali dari medan latihan perang yang super dahsyat, suatu pementasan drama kehidupan semesta yang super spektakuler; itulah training terbesar di dunia, yaitu Haji.

Setelah Panggilan Haji, Kini Datang Panggilan Jihad.

Jika panggilan adzan telah kita hadiri dan panggilan haji telah kita penuhi, maka sebelum panggilan maut menghampiri sejatinya kita penuhi dulu panggilan jihad.

Jihad adalah ikhtiar sungguh-sungguh dan profesional untuk berkarya dan berprestasi, memberikan, melayani, membantu dan menolong sesama. Itulah ladang jihad yang luas tak bertepi. Itulah ladang amal tempat kita meneruskan bercocok tanam amal kebaikan.

Sesuai hitungan waktu, maka umur kita tidak lama. Selama-lamanya umur tak akan lebih lama dari 80-90 tahun. Kita tinggal menghitung saja, berapa sisa waktu yang ada. Itulah kesempatan kita. Kesempatan yang jika sudah kita lalui, tak akan pernah terulang lagi, selamanya.

Maka sejatinya, semangat dan antusiasme kita setelah haji, berkobar-kobar untuk melaksanakan amanah yang ada di pundak kita saat ini; menciptakan peluang-peluang baru yang lebih baik, mengubah apa yang tidak baik dan melanjutkan apa yang sudah baik, sebelumnya.

Mabrur: Memenuhi Janji Lebih Baik

Maka sepulang haji ini, kita ditantang untuk membuktikan kemampuan dan komitmen kita memenuhi panggilan jihad tersebut. Janji untuk menghayati diri kita sebagai hamba Allah pada saat kita berihram, yang karena itu kita harus menjaga diri kita, lisan dan perbuatan kita menjadi lebih baik, lebih tulus dan ikhlas, harus kita laksanakan.

Janji kita di Arofah untuk menjadi khalifahNya, menciptakan kebaikan dan kemuliaan, harus kita wujudkan. Janji untuk menjadi orang yang bersih hati dan menjaga diri dari sifat-sifat buruk, saat kita melontar jumrah, harus kita laksanakan.

Janji untuk memiliki tauhid dan kecintaan kepada Allah, untuk lebih tegar dan sabar, untuk optimis dan tidak putus asa, saat kita bertawaf harus kita laksanakan. Janji kita untuk bekerja keras, cerdas dan tuntas, lebih menyayangi, mengayomi dan melayani seperti Siti Hajar saat kita Sa’i harus kita maksimalkan.

Penutup

Semua janji kita pada saat di Tanah Suci, haruslah kita wujudkan, bukan untuk hanya omong kosong. Haji memang bukan untuk traveling, bukan untuk memenuhi panggilan tugas kantor, bukan untuk mendapat gelar haji, tapi untuk membuktikan dan membaktikan hidup kita, bahwa setelah haji kita menjadi lebih baik dan mulia.

Mabrur, pada akhirnya, bukan julukan bagi orang yang sudah haji tanpa syarat, tapi ikhtiar menjadi lebih baik, yang harus diwujudkan terus menerus oleh mereka yang sudah haji. Fa’tabiru ya ulil albab.

http://greatness2045.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*

HAJI: SELAMAT KEMBALI KE TANAH PERJUANGAN

Oleh Legisan Samtafsir

Selamat kembali ke Tanah Air, wahai para Haji dan Hajjah. Sebenarnya, ini bukan sekadar pulang ke tanah air, tetapi kembali ke tanah perjuangan. Inilah Indonesia — bukan tanah untuk kita menunggu usia tua sehingga kematian menjelang, tetapi tanah untuk kita berjuang hingga syahid menjemput. Inilah Indonesia; tanah tumpah darah, tanah medan perjuangan bagi para Haji dan Hajjah.

Negeri Para Pahlawan

Indonesia adalah negeri tempat lahirnya para pahlawan, negeri tempat para pembela kebenaran dan keadilan dilahirkan, dibesarkan, dan dikuburkan. Sejarah mencatat, membentang luas dari Samudera Pasai Aceh hingga ke Ternate dan Tidore di Timur, bukan hanya berjejer pulau-pulau, tetapi juga berjejer foto-foto pahlawan dan taman-taman makam pahlawan.

Mereka yang fotonya dipajang itu adalah orang-orang yang semasa hidupnya terpanggil untuk berkarya dan berprestasi memajukan negerinya, mencerdaskan dan mensejahterakan rakyatnya, dan mereka yang terpanggil untuk bangkit membela orang-orang yang tertindas karena hukum yang zalim.

Kini kita kembali dari Tanah Suci ke tanah para pahlawan itu, tanah di mana arwah para leluhurnya bergentayangan, memanggil generasi baru anak cucunya untuk meneruskan semangat juang mereka membangun negeri, memajukan pendidikan, meningkatkan ekonomi, memperbaiki akhlak, dan membina keluarga yang sakinah.

Suara arwah para pahlawan itu nyaring keluar dari patung-patungnya yang tersebar di berbagai jalanan, foto-fotonya yang ada di buku teks sejarah dan poster-posternya terpampang di berbagai baliho. Lihatlah wajah-wajah mereka, lihat dan tangkap semangatnya, lalu katakan kepada mereka, ‘Aku telah pulang haji dan aku akan teruskan semangatmu para pahlawan membangun negeri ini.’

Negeri Para Bedebah

Jika di negeri ini berjejer foto-foto pahlawan, artinya di negeri ini pula pernah bercokol para bedebah, karena memang tidak akan ada pahlawan tanpa adanya bedebah. Dan benar, bedebah itulah yang dihadapi para pahlawan kita, yaitu penjajah yang datang merampas kekayaan negeri dan merampok hak milik warganya, sejak 400 tahun yang lalu. Sayangnya, atau sialnya, mereka tidak berdiri sendiri atau berjuang sendiri, tetapi secara licik bekerja sama dengan para elit dalam negeri, yang seolah bangga menjadi kompradornya atau menjadi kaki tangannya.

Itu terjadi di masa pra kemerdekaan Republik ini. Tetapi sesudah itu, di era kemerdekaan, orde lama, orde baru bahkan setelah orde reformasi, bersihkah negeri ini dari para bedebah itu? Tidak. Ternyata, komprador juga menciptakan anak-anaknya. Kaum munafikun, fasikun dan jahilun, melahirkan generasi baru. Bedebah juga beranak dan bercucu. Iblis bahkan tidak punah, padahal manusia yang selalu punah, silih berganti.

Itulah fakta yang akan terus kita hadapi. Gentarkah kita? Tidak. Pesimiskah kita? Tidak. Kita justru semangat dan gagah menghadapinya. Kenapa? Karena kita baru pulang haji. Kita baru kembali dari medan latihan perang yang super dahsyat, suatu pementasan drama kehidupan semesta yang super spektakuler; itulah training terbesar di dunia, yaitu Haji.

Setelah Panggilan Haji, Kini Datang Panggilan Jihad

Jika panggilan adzan telah kita hadiri dan panggilan haji telah kita penuhi, maka sebelum panggilan maut menghampiri, sejatinya kita penuhi dulu panggilan jihad.

Jihad adalah ikhtiar sungguh-sungguh dan profesional untuk berkarya dan berprestasi, memberikan, melayani, membantu, dan menolong sesama. Itulah ladang jihad yang luas tak bertepi. Itulah ladang amal tempat kita meneruskan bercocok tanam amal kebaikan.

Sesuai hitungan waktu, maka umur kita tidak lama. Selama-lamanya umur tak akan lebih lama dari 80-90 tahun. Kita tinggal menghitung saja, berapa sisa waktu yang ada. Itulah kesempatan kita. Kesempatan yang jika sudah kita lalui, tak akan pernah terulang lagi, selamanya.

Maka sejatinya, semangat dan antusiasme kita setelah haji, berkobar-kobar untuk melaksanakan amanah yang ada di pundak kita saat ini; menciptakan peluang-peluang baru yang lebih baik, mengubah apa yang tidak baik dan melanjutkan apa yang sudah baik sebelumnya.

Mabrur: Memenuhi Janji Lebih Baik

Maka sepulang haji ini, kita ditantang untuk membuktikan kemampuan dan komitmen kita memenuhi panggilan jihad tersebut. Janji untuk menghayati diri kita sebagai hamba Allah pada saat kita berihram, yang karena itu kita harus menjaga diri kita, lisan dan perbuatan kita menjadi lebih baik, lebih tulus dan ikhlas, harus kita laksanakan.

Janji kita di Arofah untuk menjadi khalifah-Nya, menciptakan kebaikan dan kemuliaan, harus kita wujudkan. Janji untuk menjadi orang yang bersih hati dan menjaga diri dari sifat-sifat buruk, saat kita melontar jumrah, harus kita laksanakan.

Janji untuk memiliki tauhid dan kecintaan kepada Allah, untuk lebih tegar dan sabar, untuk optimis dan tidak putus asa, saat kita bertawaf harus kita laksanakan. Janji kita untuk bekerja keras, cerdas dan tuntas, lebih menyayangi, mengayomi dan melayani seperti Siti Hajar saat kita Sa’i harus kita maksimalkan.

Penutup

Semua janji kita pada saat di Tanah Suci, haruslah kita wujudkan, bukan untuk hanya omong kosong. Haji memang bukan untuk traveling, bukan untuk memenuhi panggilan tugas kantor, bukan untuk mendapat gelar haji, tapi untuk membuktikan dan membaktikan hidup kita, bahwa setelah haji kita menjadi lebih baik dan mulia.

Mabrur, pada akhirnya, bukan julukan bagi orang yang sudah haji tanpa syarat, tapi ikhtiar menjadi lebih baik, yang harus diwujudkan terus menerus oleh mereka yang sudah haji. Fa’tabiru ya ulil albab.

http://greatness2045.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*

HAJI: SELAMAT KEMBALI KE TANAH PERJUANGAN

Oleh Legisan Samtafsir

Selamat datang kembali ke Tanah Air, wahai para Haji & Hajjah. Sejatinya, bukan kembali ke tanah air tapi ke tanah perjuangan. Inilah Indonesia. Bukan tanah tempat kita menunggu tua, sampai kematian datang, tapi tanah untuk kita berjuang hingga syahid menjemput. Inilah Indonesia; tanah tumpah darah, tanah medan juang bagi para Haji dan Hajjah.

Negeri Para Hero

Indonesia adalah negeri tempat lahirnya para pahlawan, negeri tempat para pembela kebenaran dan keadilan dilahirkan, dibesarkan dan dikuburkan. Sejarah mencatat, membentang luas dari Samudera Pasai Aceh hingga ke Ternate dan Tidore di Timur, bukan hanya berjejer pulau-pulau tapi berjejer pula foto-foto pahlawan dan taman-taman makam pahlawan.

Mereka yang fotonya dipajang itu adalah orang-orang yang semasa hidupnya terpanggil untuk berkarya dan berprestasi memajukan negerinya, mencerdaskan dan mensejahterakan rakyatnya, dan mereka yang terpanggil untuk bangkit membela orang-orang yang tertindas karena hukum yang zalim.

Kini kita kembali dari Tanah Suci ke tanah para pahlawan itu, tanah di mana arwah para leluhurnya bergentayangan, memanggil generasi baru anak cucunya untuk meneruskan semangat juang mereka membangun negeri, memajukan pendidikan, meningkatkan ekonomi, memperbaiki akhlak dan membina keluarga yang sakinah.

Suara arwah para pahlawan itu nyaring keluar dari patung-patungnya yang tersebar di berbagai jalanan, foto-fotonya yang ada di buku teks sejarah dan poster-posternya terpampang di berbagai baliho. Lihatlah wajah-wajah mereka, lihat dan tangkap semangatnya, lalu katakan kepada mereka, ‘aku telah pulang haji dan aku akan teruskan semangatmu para pahlawan membangun negeri ini’.

Negeri Para Bedebah

Jika di negeri ini berjejer foto-foto pahlawan, artinya di negeri ini pula pernah bercokol para bedebah, karena memang tidak akan ada pahlawan tanpa adanya bedebah. Dan benar, bedebah itulah yang dihadapi para pahlawan kita, yaitu penjajah yang datang merampas kekayaan negeri dan merampok hak milik warganya, sejak 400 tahun yang lalu. Sayangnya, atau sialnya, mereka tidak berdiri sendiri atau berjuang sendiri, tapi secara licik bekerja sama dengan para elit dalam negeri, yang seolah bangga menjadi kompradornya atau menjadi kaki tangannya.

Itu terjadi di masa pra kemerdekaan Republik ini. Tetapi sesudah itu, di era kemerdekaan, orde lama, orde baru bahkan setelah orde reformasi, bersihkah negeri ini dari para bedebah itu, tidak. Ternyata, komprador juga menciptakan anak-anaknya. Kaum munafikun, fasikun dan jahilun, melahirkan generasi baru. Bedebah juga beranak dan bercucu. Iblis bahkan tidak punah, padahal manusia yang selalu punah, silih berganti.

Itulah fakta yang akan terus kita hadapi. Gentarkah kita? Tidak. Pesimiskah kita? Tidak. Kita justru semangat dan gagah menghadapinya. Kenapa? Karena kita baru pulang haji. Kita baru kembali dari medan latihan perang yang super dahsyat, suatu pementasan drama kehidupan semesta yang super spektakuler; itulah training terbesar di dunia, yaitu Haji.

Setelah Panggilan Haji, Kini Datang Panggilan Jihad.

Jika panggilan adzan telah kita hadiri dan panggilan haji telah kita penuhi, maka sebelum panggilan maut menghampiri sejatinya kita penuhi dulu panggilan jihad.

Jihad adalah ikhtiar sungguh-sungguh dan profesional untuk berkarya dan berprestasi, memberikan, melayani, membantu dan menolong sesama. Itulah ladang jihad yang luas tak bertepi. Itulah ladang amal tempat kita meneruskan bercocok tanam amal kebaikan.

Sesuai hitungan waktu, maka umur kita tidak lama. Selama-lamanya umur tak akan lebih lama dari 80-90 tahun. Kita tinggal menghitung saja, berapa sisa waktu yang ada. Itulah kesempatan kita. Kesempatan yang jika sudah kita lalui, tak akan pernah terulang lagi, selamanya.

Maka sejatinya, semangat dan antusiasme kita setelah haji, berkobar-kobar untuk melaksanakan amanah yang ada di pundak kita saat ini; menciptakan peluang-peluang baru yang lebih baik, mengubah apa yang tidak baik dan melanjutkan apa yang sudah baik, sebelumnya.

Mabrur: Memenuhi Janji Lebih Baik

Maka sepulang haji ini, kita ditantang untuk membuktikan kemampuan dan komitmen kita memenuhi panggilan jihad tersebut. Janji untuk menghayati diri kita sebagai hamba Allah pada saat kita berihram, yang karena itu kita harus menjaga diri kita, lisan dan perbuatan kita menjadi lebih baik, lebih tulus dan ikhlas, harus kita laksanakan.

Janji kita di Arofah untuk menjadi khalifahNya, menciptakan kebaikan dan kemuliaan, harus kita wujudkan. Janji untuk menjadi orang yang bersih hati dan menjaga diri dari sifat-sifat buruk, saat kita melontar jumrah, harus kita laksanakan.

Janji untuk memiliki tauhid dan kecintaan kepada Allah, untuk lebih tegar dan sabar, untuk optimis dan tidak putus asa, saat kita bertawaf harus kita laksanakan. Janji kita untuk bekerja keras, cerdas dan tuntas, lebih menyayangi, mengayomi dan melayani seperti Siti Hajar saat kita Sa’i harus kita maksimalkan.

Penutup

Semua janji kita pada saat di Tanah Suci, haruslah kita wujudkan, bukan untuk hanya omong kosong. Haji memang bukan untuk traveling, bukan untuk memenuhi panggilan tugas kantor, bukan untuk mendapat gelar haji, tapi untuk membuktikan dan membaktikan hidup kita, bahwa setelah haji kita menjadi lebih baik dan mulia.

Mabrur, pada akhirnya, bukan julukan bagi orang yang sudah haji tanpa syarat, tapi ikhtiar menjadi lebih baik, yang harus diwujudkan terus menerus oleh mereka yang sudah haji. Fa’tabiru ya ulil albab.

http://greatness2045.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*