greatness2045.com

People Power Is Unlikely to Happen

oleh: Dr. Legisan Samtafsir

The Cooking Oil Crisis: A Portrait of a Powerless State

The chaos surrounding the cooking oil crisis is a stark portrait of a powerless state—one that can no longer protect the interests of its people. It marks the moment when the ideals of the state are defeated by corporate interests.

The ideal of the state is to serve the public good. In contrast, corporate interests are driven by profit maximization—raising prices and cutting costs. In a democratic nation, these two interests (public vs. corporate) inevitably intersect and compete.

The strength of the state begins to erode when its actors are held hostage by corporate (read: capitalist) interests. As a result, the people suffer; economic surpluses are siphoned off to serve corporations without any checks, which should have been the role of the state. This leads to inequality and deepens the poverty that afflicts the public. The so-called “trickle-down effect” of capitalist wealth never materializes, because the balancing power of the state has collapsed.

A weakened state loses its ability to regulate the market, which ends up being completely dominated by corporations (capitalists). The people, too, are rendered powerless, unable to escape the grip of the market, as it becomes hegemonic—forcing them to serve the needs of capital.

If this condition persists, as dictated by the inherent logic of capitalism, it will eventually lead—at its extreme—to social disorder. The poor and oppressed will rebel and resist, potentially triggering chaos.

This is, in fact, the greatest fear associated with capitalism: when the state is captured by capitalists; when state power colludes with the owners of capital; when economic surplus is extracted solely for capitalist gain; when the freedoms of capitalism culminate in tyranny; and when the state ultimately loses, weakened and impotent.

In such a state, the government becomes effectively useless—it can no longer protect or serve its people. The only path to restoration lies in the will of the people: people power. Logically, the more the people suffer, the faster chaos brews, and the higher the toll in human cost.

However, in Indonesia today, the rise of such people power is unlikely—because the suffering of the people is consistently absorbed by the generosity of the Muslim community, which is deeply rooted in charitable practices: qurban meat distribution, communal iftar meals, zakat, infaq, sadaqah, waqf, and the Friday “blessed rice” programs. Millions of charitable acts are performed by Muslims for the poor.

This generosity soothes the public’s anger; the compassion of the Muslim community becomes a balm for the people’s suffering.

Ironically, this becomes an anomaly in capitalist logic. While the intention behind this generosity is to help the impoverished, it inadvertently sustains the hegemony of capitalism, which continues to exploit the state and its people unchecked.

http://greatness2045.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*

People Power Sulit Terjadi

oleh: Dr. Legisan Samtafsir

Kisruh minyak goreng adalah potret tak berdayanya negara. Itulah saat di mana negara tak lagi mampu melindungi kepentingan rakyatnya. Idealisme negara dikalahkan oleh kepentingan korporasi.

Idealisme negara adalah melayani kepentingan publik, sedangkan kepentingan korporasi adalah memaksimalkan profit (menaikkan harga dan menekan biaya). Dalam negara demokrasi, kedua kepentingan tersebut (kepentingan publik vs kepentingan korporasi) bertemu dan saling bersaing.

Kekuatan negara akan lemah ketika aktor-aktornya tersandera kepentingan korporasi (baca: kapitalisme). Akibatnya, rakyat menjadi korban; surplus ekonomi tersedot untuk melayani korporasi tanpa hambatan, yang seharusnya dikendalikan oleh negara. Itulah yang akhirnya menyebabkan ketimpangan, plus kemiskinan yang menimpa rakyat. Efek menetes dari kekayaan kapitalis (trickle down effect) kepada rakyat tak pernah terjadi karena negara sebagai kekuatan penyeimbangnya telah lemah tak berdaya.

Negara yang lemah tak akan mampu mengendalikan pasar, karena pasar telah sepenuhnya dikendalikan oleh korporasi (kapitalis). Rakyat pun akhirnya tak berdaya mengelak dari pasar, karena pasar telah sepenuhnya hegemonik dan memaksa rakyat untuk melayani kapitalis.

Jika keadaan itu terus berlangsung, sesuai hakikat logika kapitalisme, pada tingkat yang ekstrim, maka akan mengakibatkan terjadinya kisruh tatanan sosial; rakyat yang miskin dan tertindas itu akan memberontak dan melakukan perlawanan, yang dapat menyebabkan chaos.

Sesungguhnya keadaan seperti itulah yang paling dikhawatirkan dari kapitalisme; ketika negara dicengkeram oleh kapitalis; ketika kekuasaan negara bersekongkol dengan pemilik modal; ketika surplus ekonomi diekstraksi untuk kepentingan kapitalis; ketika kebebasan kapitalisme berujung pada tirani; ketika negara kalah, lemah tak berdaya.

Dalam keadaan seperti itu, sebetulnya negara sudah tidak berguna karena tak mampu melindungi dan melayani rakyatnya. Satu-satunya jalan untuk memperbaikinya adalah kehendak rakyat itu sendiri (people power). Logikanya, semakin rakyat menderita, semakin cepat terjadinya chaos dan semakin banyak pula menelan korban.

Namun di Indonesia saat ini sulit terjadinya people power seperti itu, karena penderitaan rakyat selalu diabsorb (ditampung) oleh kedermawanan umat Islam, yang gemar sedekah (daging qurban, bukber, zakat, infaq, shadaqah, wakaf, bagi nasi jumat barokah). Jutaan santunan diberikan oleh Umat Islam kepada rakyat miskin. Kedermawanan Umat Islam menyantuni rakyat miskin, akan memperkecil kemarahan rakyat; kebaikan hati umat Islam menjadi obat hati penderitaan rakyat.

Pastinya, ini adalah anomali logika kapitalisme. Maksud hati, kedermawanan itu ditujukan untuk menolong rakyat miskin yang menderita, tapi justru malah melanggengkan hegemoni kekuasaan kapitalisme yang rakus atas negara dan rakyat

http://greatness2045.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*

Kuasa Rakyat Sukar Terjadi

oleh: Dr. Legisan Samtafsir

Kisruh Minyak Goreng Adalah Potret Tak Berdayanya Negara

Kisruh minyak goreng adalah potret tak berdayanya negara. Itulah saat di mana negara tak lagi mampu melindungi kepentingan rakyatnya. Idealisme negara dikalahkan oleh kepentingan korporasi.

Idealisme negara adalah melayani kepentingan publik, sementara kepentingan korporasi adalah memaksimalkan keuntungan (menaikkan harga dan menekan biaya). Dalam negara demokrasi, kedua kepentingan ini (kepentingan publik vs kepentingan korporasi) bertemu dan saling bersaing.

Kekuatan negara akan lemah ketika aktor-aktornya tersandera oleh kepentingan korporasi (baca: kapitalisme). Akibatnya, rakyat menjadi korban; surplus ekonomi tersedot untuk melayani korporasi tanpa hambatan, yang seharusnya dikendalikan oleh negara. Itulah yang akhirnya menyebabkan ketimpangan, plus kemiskinan yang menimpa rakyat. Efek menetes dari kekayaan kapitalis (trickle down effect) kepada rakyat tak pernah terjadi karena negara sebagai kekuatan penyeimbangnya telah lemah dan tak berdaya.

Negara yang lemah tak akan mampu mengendalikan pasar, karena pasar telah sepenuhnya dikendalikan oleh korporasi (kapitalis). Rakyat pun akhirnya tak berdaya mengelak dari pasar, karena pasar telah sepenuhnya hegemonik dan memaksa rakyat untuk melayani kapitalis.

Jika keadaan itu terus berlangsung, sesuai dengan logika kapitalisme, pada tingkat yang ekstrim, maka akan mengakibatkan terjadinya kisruh tatanan sosial; rakyat yang miskin dan tertindas itu akan memberontak dan melakukan perlawanan, yang dapat menyebabkan kekacauan (chaos).

Sesungguhnya keadaan seperti itulah yang paling dikhawatirkan dari kapitalisme; ketika negara dicengkeram oleh kapitalis; ketika kekuasaan negara bersekongkol dengan pemilik modal; ketika surplus ekonomi diekstraksi untuk kepentingan kapitalis; ketika kebebasan kapitalisme berujung pada tirani; ketika negara kalah, lemah tak berdaya.

Dalam keadaan seperti itu, sebetulnya negara sudah tidak berguna karena tak mampu melindungi dan melayani rakyatnya. Satu-satunya jalan untuk memperbaikinya adalah kehendak rakyat itu sendiri (people power). Logikanya, semakin rakyat menderita, semakin cepat terjadinya kekacauan dan semakin banyak pula yang menjadi korban.

Namun, di Indonesia saat ini sulit terjadinya people power seperti itu, karena penderitaan rakyat selalu diabsorb (ditampung) oleh kedermawanan umat Islam, yang gemar bersedekah (daging qurban, buka bersama, zakat, infaq, shadaqah, wakaf, bagi nasi Jumat barokah). Jutaan santunan diberikan oleh umat Islam kepada rakyat miskin. Kedermawanan umat Islam menyantuni rakyat miskin akan memperkecil kemarahan rakyat; kebaikan hati umat Islam menjadi obat bagi hati penderitaan rakyat.

Pastinya, ini adalah anomali logika kapitalisme. Maksud hati, kedermawanan itu ditujukan untuk menolong rakyat miskin yang menderita, tapi justru malah melanggengkan hegemoni kekuasaan kapitalisme yang rakus atas negara dan rakyat.

http://greatness2045.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*

People Power Sulit Terjadi

oleh: Dr. Legisan Samtafsir

Kisruh minyak goreng adalah potret tak berdayanya negara. Itulah saat di mana negara tak lagi mampu melindungi kepentingan rakyatnya. Idealisme negara dikalahkan oleh kepentingan korporasi.

Idealisme negara adalah melayani kepentingan publik, sedangkan kepentingan korporasi adalah memaksimalkan profit (menaikkan harga dan menekan biaya). Dalam negara demokrasi, kedua kepentingan tersebut (kepentingan publik vs kepentingan korporasi) bertemu dan saling bersaing.

Kekuatan negara akan lemah ketika aktor-aktornya tersandera kepentingan korporasi (baca: kapitalisme). Akibatnya, rakyat menjadi korban; surplus ekonomi tersedot untuk melayani korporasi tanpa hambatan, yang seharusnya dikendalikan oleh negara. Itulah yang akhirnya menyebabkan ketimpangan, plus kemiskinan yang menimpa rakyat. Efek menetes dari kekayaan kapitalis (trickle down effect) kepada rakyat tak pernah terjadi karena negara sebagai kekuatan penyeimbangnya telah lemah tak berdaya.

Negara yang lemah tak akan mampu mengendalikan pasar, karena pasar telah sepenuhnya dikendalikan oleh korporasi (kapitalis). Rakyat pun akhirnya tak berdaya mengelak dari pasar, karena pasar telah sepenuhnya hegemonik dan memaksa rakyat untuk melayani kapitalis.

Jika keadaan itu terus berlangsung, sesuai hakikat logika kapitalisme, pada tingkat yang ekstrim, maka akan mengakibatkan terjadinya kisruh tatanan sosial; rakyat yang miskin dan tertindas itu akan memberontak dan melakukan perlawanan, yang dapat menyebabkan chaos.

Sesungguhnya keadaan seperti itulah yang paling dikhawatirkan dari kapitalisme; ketika negara dicengkeram oleh kapitalis; ketika kekuasaan negara bersekongkol dengan pemilik modal; ketika surplus ekonomi diekstraksi untuk kepentingan kapitalis; ketika kebebasan kapitalisme berujung pada tirani; ketika negara kalah, lemah tak berdaya.

Dalam keadaan seperti itu, sebetulnya negara sudah tidak berguna karena tak mampu melindungi dan melayani rakyatnya. Satu-satunya jalan untuk memperbaikinya adalah kehendak rakyat itu sendiri (people power). Logikanya, semakin rakyat menderita, semakin cepat terjadinya chaos dan semakin banyak pula menelan korban.

Namun di Indonesia saat ini sulit terjadinya people power seperti itu, karena penderitaan rakyat selalu diabsorb (ditampung) oleh kedermawanan umat Islam, yang gemar sedekah (daging qurban, bukber, zakat, infaq, shadaqah, wakaf, bagi nasi jumat barokah). Jutaan santunan diberikan oleh Umat Islam kepada rakyat miskin. Kedermawanan Umat Islam menyantuni rakyat miskin, akan memperkecil kemarahan rakyat; kebaikan hati umat Islam menjadi obat hati penderitaan rakyat.

Pastinya, ini adalah anomali logika kapitalisme. Maksud hati, kedermawanan itu ditujukan untuk menolong rakyat miskin yang menderita, tapi justru malah melanggengkan hegemoni kekuasaan kapitalisme yang rakus atas negara dan rakyat

http://greatness2045.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*