greatness2045.com

MENGARAHKAN BANDUL SEJARAH INDONESIA (Menuju Era Penjajahan Lagi?)

Oleh Legisan Samtafsir

Sejarah memang tidak bisa diramal, tapi bisa diciptakan. Di situ pointnya. Tapi untuk menciptakan sejarah masa depan, yaitu menentukan apa yang seharusnya terjadi dan dicatat di masa depan tidaklah semudah mengerjakannya, karena masa depan itu gelap, tidak pasti, dan tidak ada yang tahu pasti.

Maka merancang sejarah masa depan itu, seharusnya diprioritaskan maksimal, sebelum semuanya terjadi. Sebab, When you fail to plan, you plan to fail; kalau kamu gagal merencanakan, kamu merencanakan kegagalan. Dan itulah sepertinya yang terjadi pada NKRI ini. Negeri yang gagal merencanakan masa depannya dengan baik.

Apa yang terjadi di negeri ini, hampir-hampir tanpa perencanaan. Jelang 79 tahun merdeka, elit-elit negeri ini masih bekerja dengan pandangan jangka pendek dan reaktif, karena mungkin memang mengidap rabun jauh. Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi sama saja, gagal merencanakan Indonesia menjadi bangsa yang maju dan adil untuk semua.

Akibatnya jelang 79 tahun merdeka, rakyat kita masih mengidap persoalan yang sama dengan saat menjelang jatuhnya Soekarno dan Soeharto: kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan penjajahan asing lewat komprador lokal. Apa yang terjadi adalah tindakan reaksioner sesaat, untuk menghadapi kekuatan lain, yang mengendalikan negeri ini.

Bukti sederhana untuk itu jelas. 10 tahun rezim Jokowi, sebagaimana data Tempo edisi khusus 28 Juli 2024, meninggalkan beban utang negara ribuan triliun, yang harus dibayar oleh rakyat. Proyek IKN yang penuh masalah, KCIC yang membebani rakyat dan sejumlah Proyek Strategis Nasional yang menyengsarakan rakyat, serta Omnibuslaw yang memporak-porandakan tatanan hukum dan sosial masyarakat. Sayangnya, itu masih juga digembar-gemborkan akan diteruskan oleh pemerintahan baru, dengan slogan keberlanjutan.

Tidakkah Kita Bisa Berpikir?

Atau memang tidak perlu elit negeri ini berpikir?, karena yang penting adalah kerja kerja kerja. Lalu pikiran siapa yang dikerjakan, kepentingan siapa yang diperjuangkan? Rakyat kah, keselamatan bangsa dan negarakah? Mengapa sepertinya, semua merasa tak berdaya menghadapi arus besar menuju ke penjajahan negeri ini oleh bangsa lain?

Fakta bahwa ketergantungan kita pada teknologi luar di berbagai bidang (otomotif, medis, Electronic, digital), pasar domestik dibanjiri produk impor, lemahnya kemampuan negeri menghasilkan pangan, merendahnya tingkat kecerdasan rata-rata masyarakat, dan ketergantungan ekspor bahan baku sumber daya alam, masih sangat keterlaluan. Tapi sayang, itu tidak menjadi bahan pemikiran mendalam bagi perancangan Indonesia masa depan.

Tanggal 17-18 Agustus 2024, hari ulang tahun kemerdekaan RI, tinggal 2 hari lagi. Maka seperti tahun-tahun sebelumnya, seluruh rakyat bergelora sibuk tarik tambang, panjat pinang dan makan kerupuk, sedangkan pemerintah sibuk berduyun-duyun ke IKN menghabiskan APBN. Adakah perayaan kemerdekaan mengajukan arti kedaulatan yang sesungguhnya sebagai suatu bangsa: kemerdekaan politik, kemerdekaan ekonomi, budaya, pendidikan; kemerdekaan teknologi, pangan, hukum, sosial berbangsa dan kemerdekaan menentukan nasib bangsa sendiri?. Sudahkah kemerdekaan identik dengan kesejahteraan yang adil bagi seluruh rakyat?

Arus Utama Ke Depan

Sejak awal jelas, arus sejarah Indonesia adalah dalam penguasaan bangsa lain. 350 tahun VOC dan Belanda mengeruk kekayaan alam, membuat kerja paksa yang menyengsarakan rakyat di negeri ini. Setelah kemerdekaan, beban utang biaya penjajahan menjerat leher elit negeri ini. Orde Baru menyerahkan negeri ini pula kepada konglomerat Taipan, dan itu berhimpitan dengan kepentingan RRT (proyek OBOR). Orde reformasi malah membablaskan konglomerat Taipan itu menguasai semuanya.

Akankah Indonesia ke depan menuju Singapura kedua, di mana rakyatnya tergerus dari lintasan arus utama pembangunan, dan menjadi warga kelas dua; persis seperti saat penjajahan Belanda, di mana warga di negeri ini menjadi warga kelas tiga, karena warga kelas satunya adalah Eropa.?
Fa’tabiru ya ulil albab.

http://greatness2045.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*

STEERING THE PENDULUM OF INDONESIAN HISTORY (Toward Another Era of Colonization?)

By Legisan Samtafsir

History cannot be predicted—but it can be created. That’s the point. But creating future history, determining what should happen and be recorded for the next generations, is not as easy as doing it, because the future is dark, uncertain, and unknowable.

Therefore, designing future history should be a top priority—before everything happens. As the saying goes, “When you fail to plan, you plan to fail.” And that seems to be exactly what’s happening in the Republic of Indonesia: a country that has failed to properly plan its future.

What happens in this country seems to be almost entirely unplanned. Nearly 79 years after independence, the political elite still operates with short-term, reactive thinking—perhaps suffering from long-sightedness. The Old Order, the New Order, and the Reform Era have all failed to plan for Indonesia to become an advanced and just nation for all its people.

As a result, nearing its 79th year of independence, Indonesia is still plagued by the same issues that existed during the downfall of both Sukarno and Suharto: poverty, ignorance, unemployment, and foreign domination through local compradors. What happens today are merely short-term, reactionary actions to face other forces that control this country.

A simple piece of evidence for this is clear: under 10 years of Jokowi’s administration—as documented by Tempo (Special Edition, July 28, 2024)—Indonesia has been left with a massive national debt in the thousands of trillions of rupiah, to be borne by the people. The IKN (new capital city) project is riddled with issues; the Jakarta-Bandung high-speed rail (KCIC) burdens the population; many so-called National Strategic Projects have caused suffering. Meanwhile, the Omnibus Law has disrupted the nation’s legal and social order. Unfortunately, the next administration still insists on continuing these policies under the banner of “continuity.”

Can We Not Think?

Or perhaps the elites of this country no longer need to think? Because what matters now is: work, work, work. But whose thoughts are being implemented? Whose interests are being served? The people’s? The safety of the nation? Why does it feel as if everyone is powerless against the strong current dragging this nation toward recolonization?

The fact remains that we are still dangerously dependent on foreign technology (in automotive, medicine, electronics, and digital sectors). Our domestic market is flooded with imported goods. Our ability to produce food is weak. The average intelligence of the population is declining. Our economy is still heavily reliant on exporting raw natural resources. Yet sadly, none of this becomes the foundation for deep, strategic thinking about Indonesia’s future.

August 17–18, 2024—Indonesia’s Independence Day—is just two days away. And like every year, the people will be busily celebrating with tug-of-war games, greasy pole climbing, and cracker-eating contests, while government officials flock to IKN and drain the national budget. But do these celebrations ever reflect the true meaning of sovereignty as a nation—political independence, economic autonomy, cultural self-determination, educational freedom, technological and food sovereignty, legal integrity, and the right to determine our own national destiny? Has independence truly come to mean equitable prosperity for all citizens?

The Main Current Ahead

From the very beginning, the tide of Indonesian history has been under foreign control. For 350 years, the VOC and Dutch exploited natural wealth and imposed forced labor on this land. After independence, the burden of colonial debts tightened its grip on our elites. The New Order handed over the country to tycoon conglomerates, closely tied to Chinese interests (through projects like China’s Belt and Road Initiative). Then came the Reform Era, which opened the floodgates for these tycoons to take over everything.

Is Indonesia now heading toward becoming a second Singapore—where the native population is marginalized from the mainstream of development, reduced to second-class citizens? Just like under Dutch colonial rule, when native Indonesians were third-class citizens—while the first-class citizens were Europeans?

Fa’tabiru ya ulil albab — So take heed, O people of reason.

 

http://greatness2045.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*

توجيه بندول تاريخ إندونيسيا (نحو عصر الاستعمار مرة أخرى؟)

 

بقلم: ليجيسان سامتافسير

إن التاريخ لا يمكن التنبؤ به، لكنه قابل لأن يُصنع. هذه هي النقطة الجوهرية. لكن صنع تاريخ المستقبل، أي تحديد ما ينبغي أن يحدث ويُسجَّل في المستقبل، ليس بالأمر السهل، لأن المستقبل مظلم، غامض، ولا أحد يعرفه على وجه اليقين.

لذلك، فإن تخطيط تاريخ المستقبل يجب أن يكون أولوية قصوى قبل أن تقع الأمور. لأنه كما يقال: “إذا فشلتَ في التخطيط، فقد خططتَ للفشل.” وهذا ما يبدو أنه حدث مع جمهورية إندونيسيا. إنها دولة فشلت في التخطيط الجيد لمستقبلها.

ما يحدث في هذا البلد يكاد يكون بلا تخطيط. فبعد مرور ما يقرب من 79 عامًا على الاستقلال، لا يزال نخب هذا البلد يعملون برؤية قصيرة المدى وتفاعلية، ربما لأنهم يعانون من قصر النظر البعيد. سواء كان ذلك في عهد النظام القديم، أو النظام الجديد، أو حتى في عهد الإصلاح، كلهم فشلوا في تخطيط إندونيسيا لتكون أمة متقدمة وعادلة للجميع.

والنتيجة أنه مع اقتراب الذكرى التاسعة والسبعين للاستقلال، لا يزال شعبنا يعاني من نفس المشاكل التي كانت موجودة عند سقوط سوكارنو وسوهارتو: الفقر، الجهل، البطالة، والاستعمار الأجنبي من خلال العملاء المحليين. ما يحدث هو ردود أفعال مؤقتة لمواجهة قوى أخرى تتحكم في هذا البلد.

والدليل البسيط على ذلك واضح. فعشر سنوات من حكم نظام جوكوي، كما ورد في عدد خاص من مجلة “تيمبو” بتاريخ 28 يوليو 2024، ترك عبئًا من ديون الدولة يقدر بآلاف التريليونات، يجب على الشعب أن يدفعه. مشروع العاصمة الجديدة (IKN) المليء بالمشاكل، ومشروع القطار السريع (KCIC) الذي يثقل كاهل الشعب، وعدد من المشاريع الوطنية الاستراتيجية التي تسببت في معاناة الناس، بالإضافة إلى قانون “أومنيبوس” الذي مزق النظام القانوني والاجتماعي. للأسف، لا يزال يُروَّج للاستمرار في هذه المشاريع من قبل الحكومة الجديدة تحت شعار “الاستمرارية”.

أفلا نتفكر؟

أم أن نخب هذا البلد لا يحتاجون إلى التفكير؟ لأن الأهم هو: العمل، العمل، العمل. ولكن، أي فكر يُطبَّق؟ ولمصلحة من يُنفَّذ هذا العمل؟ هل من أجل الشعب؟ أم من أجل سلامة الأمة والدولة؟ لماذا يبدو أن الجميع عاجزون أمام التيار الجارف الذي يقود هذا البلد نحو استعمار جديد من قبل الأمم الأخرى؟

إن حقيقة اعتمادنا على التكنولوجيا الأجنبية في مختلف المجالات (كالسيارات، والطب، والإلكترونيات، والرقميات)، وامتلاء السوق المحلي بالمنتجات المستوردة، وضعف قدرة البلاد على إنتاج الغذاء، وانخفاض مستوى الذكاء العام، والاعتماد المفرط على تصدير المواد الخام، كلها أمور مفرطة في الخطورة. لكن للأسف، لا تزال بعيدة عن أن تكون موضوعًا للتفكير العميق في تخطيط مستقبل إندونيسيا.

إن يوم 17-18 أغسطس 2024، ذكرى استقلال الجمهورية، لم يتبقَ عليه سوى يومين. ومثل كل عام، ينشغل الشعب كله بمسابقات الشد بالحبل، وتسلق الأعمدة، وأكل البسكويت، بينما تنشغل الحكومة بالتوجه جماعيًا نحو العاصمة الجديدة، مستهلكين أموال الدولة. فهل يحمل هذا الاحتفال بالاستقلال أي معنى حقيقي للسيادة كأمة: السيادة السياسية، الاقتصادية، الثقافية، التعليمية؛ السيادة في التكنولوجيا، الغذاء، القانون، والاجتماع، وسيادة تقرير المصير كأمة؟ وهل أصبح الاستقلال مرادفًا للعدالة والرفاهية لجميع المواطنين؟

التيار الرئيس نحو المستقبل

منذ البداية، كان واضحًا أن تيار تاريخ إندونيسيا كان تحت سيطرة الأمم الأخرى. فقد نهبت شركة الهند الشرقية الهولندية (VOC) وهولندا ثروات البلاد على مدى 350 سنة، وأقامت نظام العمل القسري الذي جلب البؤس للشعب. وبعد الاستقلال، وقعت نخب هذا البلد في فخ ديون استعمارية. ثم سلم النظام الجديد (Orde Baru) البلد إلى الكونغلوما الأمريكيين والصينيين، وتحديدًا في إطار مصالح الصين (مشروع الحزام والطريق – OBOR). أما عهد الإصلاح فقد سمح للكونغلوما بالهيمنة على كل شيء.

فهل ستصبح إندونيسيا في المستقبل سنغافورة الثانية، حيث يُزاح الشعب عن مسار التنمية، ويصبح مواطنًا من الدرجة الثانية؟ تمامًا كما كان الحال في عهد الاستعمار الهولندي، حين كان أهل البلاد مواطنين من الدرجة الثالثة، في حين أن الأوروبيين كانوا هم المواطنون من الدرجة الأولى؟

فاعتبروا يا أولي الألباب.

 

http://greatness2045.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*

MENGARAHKAN BANDUL SEJARAH INDONESIA (Menuju Era Penjajahan Lagi?)

Oleh Legisan Samtafsir

Sejarah memang tidak boleh diramal, tetapi boleh dicipta. Di situ letaknya intinya. Namun untuk mencipta sejarah masa depan, iaitu menentukan apa yang seharusnya terjadi dan dicatat di masa depan, tidaklah semudah melakukannya, kerana masa depan itu gelap, tidak pasti, dan tiada siapa yang tahu dengan pasti.

Oleh itu, merancang sejarah masa depan itu seharusnya diprioritaskan sebaik mungkin, sebelum segala-galanya terjadi. Sebab, “When you fail to plan, you plan to fail” (apabila kamu gagal merancang, kamu merancang kegagalan). Dan itulah yang nampaknya terjadi pada NKRI ini. Negeri yang gagal merancang masa depannya dengan baik.

Apa yang terjadi di negeri ini, hampir-hampir tanpa perancangan. Menjelang 79 tahun merdeka, elit-elit negeri ini masih bekerja dengan pandangan jangka pendek dan reaktif, kerana mungkin memang menghidap rabun jauh. Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi sama saja, gagal merancang Indonesia menjadi bangsa yang maju dan adil untuk semua.

Akibatnya, menjelang 79 tahun merdeka, rakyat kita masih menghidap masalah yang sama seperti saat menjelang jatuhnya Soekarno dan Soeharto: kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan penjajahan asing melalui komprador tempatan. Apa yang terjadi adalah tindakan reaktif sesaat, untuk menghadapi kekuatan lain, yang mengawal negeri ini.

Bukti sederhana untuk itu jelas. 10 tahun rejim Jokowi, sebagaimana data Tempo edisi khas 28 Julai 2024, meninggalkan beban hutang negara ribuan trilion, yang harus dibayar oleh rakyat. Projek IKN yang penuh masalah, KCIC yang membebani rakyat dan sejumlah Projek Strategik Nasional yang menyusahkan rakyat, serta Omnibuslaw yang merosakkan tatanan undang-undang dan sosial masyarakat. Sayangnya, itu masih juga digembar-gemborkan akan diteruskan oleh pemerintahan baru, dengan slogan kelestarian.

Tidakkah Kita Boleh Berfikir?

Atau memang tidak perlu elit negeri ini berfikir? kerana yang penting adalah kerja kerja kerja. Lalu, fikiran siapa yang dikerjakan, kepentingan siapa yang diperjuangkan? Rakyatkah, keselamatan bangsa dan negara kah? Mengapa sepertinya, semua merasa tak berdaya menghadapi arus besar menuju penjajahan negeri ini oleh bangsa lain?

Fakta bahawa ketergantungan kita pada teknologi luar di pelbagai bidang (automotif, perubatan, elektronik, digital), pasaran domestik dibanjiri produk import, lemahnya kemampuan negeri menghasilkan makanan, menurunnya tahap kecerdasan rata-rata masyarakat, dan ketergantungan eksport bahan mentah sumber daya alam, masih sangat keterlaluan. Tetapi sayang, itu tidak menjadi bahan pemikiran mendalam bagi perancangan Indonesia masa depan.

Tanggal 17-18 Ogos 2024, hari ulang tahun kemerdekaan RI, tinggal 2 hari lagi. Maka seperti tahun-tahun sebelumnya, seluruh rakyat bergelora sibuk tarik tali, panjat pinang dan makan kerupuk, sementara kerajaan sibuk berduyun-duyun ke IKN menghabiskan APBN. Adakah perayaan kemerdekaan mengajukan erti kedaulatan yang sesungguhnya sebagai suatu bangsa: kemerdekaan politik, kemerdekaan ekonomi, budaya, pendidikan; kemerdekaan teknologi, makanan, undang-undang, sosial berbangsa dan kemerdekaan menentukan nasib bangsa sendiri? Sudahkah kemerdekaan identik dengan kesejahteraan yang adil bagi seluruh rakyat?

Arus Utama Ke Depan

Sejak awal jelas, arus sejarah Indonesia adalah dalam penguasaan bangsa lain. 350 tahun VOC dan Belanda mengeruk kekayaan alam, membuat kerja paksa yang menyengsarakan rakyat di negeri ini. Setelah kemerdekaan, beban hutang biaya penjajahan menjerat leher elit negeri ini. Orde Baru menyerahkan negeri ini pula kepada konglomerat Taipan, dan itu berhimpitan dengan kepentingan RRT (projek OBOR). Orde reformasi malah membiarkan konglomerat Taipan itu menguasai semuanya.

Akankah Indonesia ke depan menuju Singapura kedua, di mana rakyatnya terpinggir dari lintasan arus utama pembangunan, dan menjadi warga kelas dua; persis seperti saat penjajahan Belanda, di mana warga di negeri ini menjadi warga kelas tiga, kerana warga kelas satunya adalah Eropah?
Fa’tabiru ya ulil albab.

http://greatness2045.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*