greatness2045.com

A Righteous Hajj (Haji Mabrur) and the Challenge of National Glory

With the conviction that the Hajj pilgrimage is a momentous event for life itself, any gap between its high cost and the resulting outcomes must prompt a critical review and continuous improvement of its implementation. Undoubtedly, the outcome will never stray far from the quality of the process.
Legisan Samtafsir
Writer

A Righteous Hajj and the Challenge of National Glory

“What is the best gift to bring home after Hajj? Is it dates, zamzam water, abayas, robes, or prayer mats?”
Of course, these are all souvenirs eagerly awaited by family and friends back home—and indeed, these are what thousands of pilgrims bring back every year.

There is nothing wrong with that custom. But Hajj must surely be something far more profound than that; something far more spectacular, for a purpose that is equally extraordinary.

What Does Allah Want Us to Gain?

Logically speaking, could it be that Allah simply wants us to feel the heat of the Arabian desert during Hajj? After all, heat exists in many places, including our own homeland. Or perhaps to witness barren mountains, zamzam water, camels, dates, and crowds of people—when, in fact, similar sights can be found elsewhere too? Surely, Allah intends for us to witness something far greater than just the physical landscape.

From an economic perspective, the financial commitment Muslims make for Hajj is no small matter. For example, in 2024, with 240,000 Indonesian pilgrims each paying IDR 75 million, the total spending reaches IDR 18 trillion. That is an enormous sum. Of course, this is not an issue—Hajj is a religious obligation. But the question is: do we view this expense as mere spending, or as an investment that must yield a return? What, then, is the deeper wisdom behind such a massive investment?

In the Holy Cities (Makkah and Madinah), the bustling activities of Hajj drive all sectors into motion. Economic and industrial activities accelerate to support the pilgrimage: food services, transportation, textiles, hospitality, travel, communications, and education—all are mobilized, even on a global scale.

The Prophet Muhammad (peace be upon him) himself exemplified boundless optimism and joy during Hajj. He journeyed from Madinah to Makkah, Arafah, Muzdalifah, and Mina, followed by 10,000 of his companions, and personally distributed 100 sacrificial animals to the people. A monumental act—imagine this being done over 1,400 years ago.

Let us look back at history. In the late 18th century, in West Sumatra, the legendary “poor pilgrims” (haji miskin) returned from Makkah and triggered major reforms in their homeland. KH. Hasyim Asy’ari established Nahdlatul Ulama, one of Indonesia’s largest religious organizations, after returning from Hajj. KH. Ahmad Dahlan founded Muhammadiyah, also after his pilgrimage. HAMKA wrote Under the Protection of the Ka’bah after his Hajj experience.

These great figures drew powerful energy from their pilgrimage. Upon returning, they initiated breakthroughs that transformed and improved their nation.

The Outcome of a Righteous Hajj: Better Food and Communication

The Prophet (SAW) stated clearly:
“An accepted Hajj (Hajj Mabrur) has no reward but Paradise.” (HR. Ahmad)
But when asked by a Companion what the sign of a righteous Hajj was, the Prophet replied:
“Feeding others and improving speech.”

Here lies the key: food and communication. After Hajj, pilgrims must strive to improve these two things—for the rest of their lives.

Food and communication. The Prophet emphasized them so simply, yet profoundly. Indeed, these are the two pillars of human civilization. There can be no sustainable life without food, and no flourishing civilization without effective communication. As Henry Kissinger said, “Control food and you control the people.” Meanwhile, Alvin Toffler said, “Control information and you control the future.” Food and communication are the essential keys to life and the building blocks of civilization.

From the Prophet’s definition of a righteous Hajj, we can draw the wisdom that the true secret of Hajj lies in its role as a force for improving human life and civilization. Hajj cannot be seen as a purely spiritual ritual disconnected from life, organizations, businesses, nations, or humanity. It must be integral—a spirit, a fire that ignites progress and enlightenment in every sphere of life.

Thus, the cost of Hajj is not a mere consumptive expense—it is a tremendous investment that should drive sustainable development and human civilization forward.

Conclusion

Therefore, the question that pilgrims—and governments that organize the pilgrimage—must ask is: How much return, in terms of sustainable progress and civilizational development, has been realized from the massive annual investment in Hajj? How much has the pilgrimage contributed to the glory of nations and the well-being of societies?

This question is particularly urgent for the Indonesian people. As the country with the world’s largest Muslim population, Indonesia still lags behind—its 2023 GDP per capita stands at only USD 4,700; three times lower than Malaysia’s, and twenty times lower than Singapore’s. Similarly, among the 46 Muslim-majority countries in the world, most still fall behind Western and East Asian nations in terms of development.

With the firm belief that the Hajj is a grand event with deep meaning for life itself, any mismatch between its enormous cost and modest outcome should raise critical questions. It becomes clear that it is the implementation of Hajj that must be reviewed and improved. For indeed, the outcome will never be far from the quality of the process.

Thus, we must ask: to what extent is our Hajj truly proper, aligned with the Prophet’s Sunnah, and fulfilling the divine purpose intended by Allah? Only when Hajj forms great individuals, drives progressive lives, and builds a radiant civilization, can it be said to truly achieve its purpose.
Wallahu a’lam bish-shawab.

http://greatness2045.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*

HAJI MABRUR DAN TANTANGAN KEJAYAAN BANGSA

Dengan keyakinan bahwa risalah haji adalah perhelatan yang dahsyat bagi kehidupan, maka jika ada gap antara besarnya biaya dibandingkan dengan hasilnya (outcome-nya), bisa dipastikan bahwa pelaksanaannya lah yang harus terus ditinjau dan diperbaiki. Pastinya, hasil tidak akan terlalu jauh dari prosesnya
Legisan Samtafsir
Penulis, Founder Greatness

“Apa oleh-oleh terbaik saat pulang haji? Apakah kurma, zam-zam, abaya, gamis atau sajadah?”. Tentu saja itu semua oleh-oleh yang ditunggu di tanah air oleh sanak keluarga dan handai tolan. Dan memang, itu pula yang dibawa oleh ribuan jamaah haji setiap tahun.

Memang, tidak ada yang salah pada kebiasaan itu. Tetapi haji, pasti lebih dahsyat daripada semua itu; pasti lebih spektakuler untuk tujuan yang juga sangat spektakuler.

Apa yang Allah Ingin kita Dapatkan?

Logikanya, apa mungkin Allah hanya ingin kita merasakan panasnya tanah Arab saat haji, karena panas juga ada di tanah air dan atau di berbagai tempat lain. Atau Allah ingin kita menyaksikan gunung batu, air zam-zam, hewan unta, kurma, dan jutaan manusia, karena semua itu pun ada di tempat-tempat lain. Sudah semestinya memang, pasti Allah ingin kita menyaksikan sesuatu yang lebih dahsyat dari itu semua.

Dari sisi ekonomi, betapa pengeluaran Umat Islam untuk Haji tidak sedikit. Jika haji tahun 2024, yang berjumlah 240 ribu jamaah dikali dengan Rp.75 juta, maka akan sama dengan Rp.18 triliun. Fantastis. Tentu saja tidak masalah dengan besaran tersebut, karena haji adalah wajib. Tetapi, apakah biaya tersebut kita lihat sebagai spending (pengeluaran biasa) atau investment (yang harus ada return) ? Maka rahasia apa di balik biaya besar tersebut.

Di Haramain (Makkah Madinah) sendiri, hiruk pikuk pelaksanaan haji men-triger semua hal untuk bergerak. Semua kegiatan ekonomi dan industri didorong dan berlari untuk menyukseskan haji; mulai dari makanan, transportasi, tekstil, perhotelan, traveling, komunikasi dan pendidikan; semuanya bergerak, bahkan dengan skala dunia.

Nabi Muhammad SAW sendiri mencontohkan kegembiraan dan optimismenya yang luar biasa dalam pelaksanaan haji. Beliau berangkat dari Kota Madinah menuju Makkah, Arofah, Muzdalifah dan Mina, dan diikuti 10 ribu orang jamaahnya dan membagikan 100 ekor hewan qurbannya sendiri kepada masyarakat. Dahsyat. Bayangkan itu dilakukan 1400 tahun yang lalu.

Kita mundur ke belakang, melihat Legenda haji miskin di Ranah Minang di akhir abad 18, mereka melakukan perubahan besar di ranah minang adalah setelah mereka menunaikan haji. KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdhatul Ulama (NU), organisasi keagamaan dan sosial yang menjadi sangat besar dan memberikan sumbangsih sangat besar bagi Indonesia, didirikan oleh beliau, setelah beliau pulang haji. KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyyah, juga setelah beliau pulang haji. HAMKA menulis ‘Di bawah Lindungan Ka’bah’, setelah beliau pulang haji.

Orang-orang hebat tersebut mendapatkan energi besar pada saat mereka menunaikan haji. Sepulang haji, mereka membuat terobosan-terobosan bagi perubahan dan perbaikan bangsanya.

Outcome Mabrur: perbaikan Makanan dan Komunikasi

Yang dikatakan oleh Rasulullah SAW jelas bahwa “Haji yang mabrur, tidak ada balasannya kecuali Surga” (HR. Ahmad). Tetapi ketika ditanya oleh Sahabat, “Apa tanda haji mabrur?”, Rasulullah menjawab, “memberi makan dan memperbaiki perkataan”. Di sini kuncinya, “makanan dan komunikasi”. Bahwa setelah haji maka para jamaah harus memperbaiki kedua hal itu, sampai kelak menjelang wafat mereka.

Makanan dan komunikasi. Sebegitu gamblangnya Rasulullah menekankan kedua hal itu. Maasya Allah, memang kedua hal itulah yang membentuk peradaban manusia. Tidak ada kesinambungan kehidupan tanpa makanan, dan tidak ada peradaban yang akan berkembang tanpa komunikasi. Jika Kissinger mengatakan, “kuasai makanan, kau akan kuasai dunia”, maka Alfin Tofler mengatakan, “kuasai informasi, kau akan kuasai dunia”. Makanan dan komunikasi adalah kunci kehidupan manusia dan pembentuk peradaban manusia.

Dari tanda mabrur yang disampaikan Rasulullah SAW itu kita mengambil hikmah, bahwa Rahasia haji adalah pada perbaikan kehidupan dan peradaban manusia itu sendiri. Haji tidak bisa berdiri sendiri, sebagai ibadah yang hanya bersifat spiritual dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan, organisasi, perusahaan, bisnis, negara dan bangsa; tidak bisa. Haji harus menjadi bagian integral, menjadi spirit dan menjadi api yang menyalakan kemajuan kehidupan dan peradaban manusia.

Dengan demikian, biaya haji bukanlah pengeluaran konsumtif atau spending yang sesaat yang menghabiskan; tidak. Pengeluaran haji adalah investment yang dahsyat, yang mendorong terciptanya kesinambungan kehidupan dan kemajuan peradaban manusia.

Penutup

Maka, pertanyaan yang harus dijawab oleh para jamaah haji, dan juga oleh pemerintah Indonesia dan negara-negara lain, sebagai penyelenggara perjalanan haji adalah, seberapa maksimal return kemajuan kesinambungan kehidupan dan peradaban sudah diperoleh dari investasi haji, yang dilaksanakan setiap tahun. Seberapa besar investasi haji menghasilkan kejayaan bagi masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia?

Dan pertanyaan itu semakin penting untuk dijawab oleh masyarakat Indonesia, karena sebagai negara yang mayoritas Muslim, ternyata Indonesia masih menjadi negara yang lamban dan tertinggal, dengan perkapita yang hanya 4.700 dolar (2023); 3 kali lebih kecil dibanding Malaysia, 20 kali lebih kecil dibanding Singapura. Demikian juga 46 Negara yang mayoritas penduduknya Muslim di dunia, ternyata masih menjadi negara yang tertinggal dibandingkan negara-negara Eropa dan Amerika, serta beberapa negara di Asia Timur yang telah maju.

Dengan keyakinan bahwa Risalah Haji adalah perhelatan yang dahsyat bagi kehidupan, maka jika ada gap antara besarnya biaya dibandingkan dengan hasilnya (outcome-nya), bisa dipastikan bahwa pelaksanaannya lah yang harus terus ditinjau dan diperbaiki. Pastinya, hasil tidak akan terlalu jauh dari prosesnya. Begitulah kita harus bertanya, sejauh mana pelaksanaan haji kita itu sudah proper, sudah sesuai sunnah dan sudah sesuai dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Allah, sehingga haji dapat membentuk manusia yang hebat, kehidupan yang progressif dan peradaban yang gemilang. Wallahu a’lam bisshawwab.

http://greatness2045.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*

Haji Mabrur dan Cabaran Kejayaan Sesebuah Bangsa

Dengan keyakinan bahawa risalah haji adalah suatu peristiwa besar dalam kehidupan, maka jika terdapat jurang antara kos yang tinggi dengan hasilnya (outcome-nya), dapat dipastikan bahawa pelaksanaannya perlu sentiasa dikaji dan diperbaiki. Sesungguhnya, hasil tidak akan terlalu jauh daripada prosesnya.
Legisan Samtafsir
Penulis, Founder Greatness

Apa Oleh-Oleh Terbaik Ketika Pulang Haji? Adakah Kurma, Air Zamzam, Abaya, Jubah atau Sejadah?

Sudah tentu, semua itu adalah buah tangan yang sangat dinanti-nantikan oleh sanak saudara dan sahabat handai di tanah air. Dan sememangnya, itulah juga yang dibawa oleh ribuan jemaah haji setiap tahun.

Tiada salahnya dengan kebiasaan itu. Tetapi ibadah haji pasti jauh lebih hebat daripada sekadar oleh-oleh; ia adalah pengalaman yang spektakular, dengan matlamat yang juga sangat luar biasa.

Apa yang Allah Mahukan Kita Dapatkan?

Secara logik, mungkinkah Allah hanya ingin kita merasai panasnya tanah Arab ketika menunaikan haji? Sedangkan panas juga ada di tanah air kita, dan di banyak tempat lain. Atau Allah mahu kita melihat gunung batu, air zamzam, unta, kurma, dan jutaan manusia? Semua itu pun boleh dijumpai di tempat lain. Maka, sudah tentu Allah ingin kita menyaksikan sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih bermakna daripada semua itu.

Dari sudut ekonomi, betapa besarnya perbelanjaan umat Islam dalam menunaikan haji. Jika pada tahun 2024, seramai 240 ribu jemaah haji dari Indonesia berangkat dan setiap orang menghabiskan kira-kira Rp75 juta, maka jumlahnya mencecah Rp18 trilion. Angka yang sangat besar. Tentunya, tidak menjadi masalah kerana haji itu wajib. Namun, adakah kita melihat perbelanjaan itu sebagai perbelanjaan biasa (spending), atau sebagai pelaburan (investment) yang seharusnya ada pulangan (return)? Maka, apa rahsia di sebalik pelaburan sebesar itu?

Di Tanah Haram (Makkah dan Madinah), kemeriahan musim haji menggerakkan seluruh ekosistem. Semua sektor ekonomi dan industri terlibat aktif demi menyukseskan pelaksanaan haji – daripada makanan, pengangkutan, tekstil, hotel, pelancongan, komunikasi, hinggalah pendidikan – semuanya bergerak, bahkan dalam skala global.

Nabi Muhammad SAW sendiri menunjukkan semangat dan optimisme yang luar biasa dalam pelaksanaan haji. Baginda berangkat dari Kota Madinah ke Makkah, Arafah, Muzdalifah dan Mina bersama 10 ribu sahabat, dan menyembelih 100 ekor binatang korban dengan tangannya sendiri untuk diagihkan kepada masyarakat. Hebat – bayangkan ia berlaku 1,400 tahun yang lalu!

Legenda Haji Miskin dan Tokoh Hebat Selepas Haji

Lihat sahaja legenda para jemaah haji miskin dari Ranah Minang pada akhir abad ke-18. Mereka mencetus perubahan besar di kampung halaman mereka setelah menunaikan haji. KH Hasyim Asy’ari menubuhkan Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keagamaan dan sosial yang besar jasanya kepada Indonesia, selepas beliau pulang dari haji. KH Ahmad Dahlan pula menubuhkan Muhammadiyah, juga selepas pulang haji. HAMKA menulis Di Bawah Lindungan Ka’bah selepas beliau menunaikan haji.

Orang-orang hebat ini memperoleh tenaga luar biasa semasa menunaikan haji. Dan setelah pulang, mereka mencipta pelbagai inovasi dan perubahan demi kemajuan bangsanya.

Hasil Haji Mabrur: Perbaiki Makanan dan Komunikasi

Sabda Rasulullah SAW sangat jelas: “Haji yang mabrur, tiada balasannya melainkan syurga.” (HR. Ahmad). Namun apabila ditanya, apakah tanda haji mabrur, Rasulullah menjawab: “Memberi makan dan memperbaiki tutur kata.” Inilah kuncinya – makanan dan komunikasi.

Rasulullah dengan jelas menekankan dua aspek itu – memberi makan dan memperbaiki perkataan. Subhanallah, dua perkara inilah yang menjadi asas kepada tamadun manusia. Tiada kelangsungan hidup tanpa makanan, dan tiada tamadun yang maju tanpa komunikasi. Jika Henry Kissinger mengatakan, “Kuasai makanan, engkau akan kuasai dunia,” maka Alvin Toffler pula berkata, “Kuasai maklumat, engkau akan kuasai dunia.” Maka makanan dan komunikasi adalah kunci utama kepada kehidupan dan kemajuan peradaban manusia.

Dari petunjuk ini, kita faham bahawa rahsia haji adalah pada perubahan kehidupan dan pembinaan peradaban. Haji bukan ibadah yang hanya bersifat spiritual semata-mata. Ia harus menjadi sebahagian daripada kehidupan – menyentuh organisasi, perniagaan, institusi, negara dan umat. Ia harus menjadi api yang menyalakan kemajuan dan kecemerlangan manusia.

Dengan itu, perbelanjaan haji bukan sekadar perbelanjaan konsumtif, tetapi adalah satu pelaburan besar yang mendorong kesinambungan hidup dan perkembangan peradaban manusia.

Penutup

Justeru, persoalan yang perlu dijawab oleh para jemaah haji, kerajaan Indonesia dan semua negara yang menguruskan haji adalah: Sejauh manakah pulangan daripada pelaburan haji – dari segi kemajuan dan pembangunan peradaban – telah diperoleh setiap tahun? Seberapa besar haji menyumbang kepada kemajuan masyarakat dan kejayaan bangsa?

Soalan ini semakin penting buat rakyat Indonesia, yang walaupun merupakan negara majoriti Muslim terbesar, masih tergolong sebagai negara membangun dengan pendapatan per kapita hanya USD 4,700 (2023); tiga kali lebih rendah berbanding Malaysia, dan 20 kali lebih rendah berbanding Singapura. Begitu juga 46 negara Muslim di dunia masih ketinggalan berbanding negara-negara Barat dan beberapa negara Asia Timur.

Maka, jika benar haji adalah peristiwa agung dalam kehidupan umat Islam, dan masih terdapat jurang antara kos besar dan hasilnya, maka yang perlu dikaji ialah pelaksanaannya. Kerana hasil tidak mungkin jauh daripada prosesnya. Maka wajarlah kita bertanya: sejauh manakah pelaksanaan haji selama ini benar-benar mengikut sunnah, dan sejauh mana ia membawa kepada matlamat Allah – untuk membentuk insan unggul, kehidupan progresif dan tamadun yang cemerlang?

Wallahu a’lam bis shawab.

http://greatness2045.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*

HAJI MABRUR DAN TANTANGAN KEJAYAAN BANGSA

Dengan keyakinan bahwa risalah haji adalah perhelatan yang dahsyat bagi kehidupan, maka jika ada gap antara besarnya biaya dibandingkan dengan hasilnya (outcome-nya), bisa dipastikan bahwa pelaksanaannya lah yang harus terus ditinjau dan diperbaiki. Pastinya, hasil tidak akan terlalu jauh dari prosesnya
Legisan Samtafsir
Penulis, Founder Greatness

“Apa oleh-oleh terbaik saat pulang haji? Apakah kurma, zam-zam, abaya, gamis atau sajadah?”. Tentu saja itu semua oleh-oleh yang ditunggu di tanah air oleh sanak keluarga dan handai tolan. Dan memang, itu pula yang dibawa oleh ribuan jamaah haji setiap tahun.

Memang, tidak ada yang salah pada kebiasaan itu. Tetapi haji, pasti lebih dahsyat daripada semua itu; pasti lebih spektakuler untuk tujuan yang juga sangat spektakuler.

Apa yang Allah Ingin kita Dapatkan?

Logikanya, apa mungkin Allah hanya ingin kita merasakan panasnya tanah Arab saat haji, karena panas juga ada di tanah air dan atau di berbagai tempat lain. Atau Allah ingin kita menyaksikan gunung batu, air zam-zam, hewan unta, kurma, dan jutaan manusia, karena semua itu pun ada di tempat-tempat lain. Sudah semestinya memang, pasti Allah ingin kita menyaksikan sesuatu yang lebih dahsyat dari itu semua.

Dari sisi ekonomi, betapa pengeluaran Umat Islam untuk Haji tidak sedikit. Jika haji tahun 2024, yang berjumlah 240 ribu jamaah dikali dengan Rp.75 juta, maka akan sama dengan Rp.18 triliun. Fantastis. Tentu saja tidak masalah dengan besaran tersebut, karena haji adalah wajib. Tetapi, apakah biaya tersebut kita lihat sebagai spending (pengeluaran biasa) atau investment (yang harus ada return) ? Maka rahasia apa di balik biaya besar tersebut.

Di Haramain (Makkah Madinah) sendiri, hiruk pikuk pelaksanaan haji men-triger semua hal untuk bergerak. Semua kegiatan ekonomi dan industri didorong dan berlari untuk menyukseskan haji; mulai dari makanan, transportasi, tekstil, perhotelan, traveling, komunikasi dan pendidikan; semuanya bergerak, bahkan dengan skala dunia.

Nabi Muhammad SAW sendiri mencontohkan kegembiraan dan optimismenya yang luar biasa dalam pelaksanaan haji. Beliau berangkat dari Kota Madinah menuju Makkah, Arofah, Muzdalifah dan Mina, dan diikuti 10 ribu orang jamaahnya dan membagikan 100 ekor hewan qurbannya sendiri kepada masyarakat. Dahsyat. Bayangkan itu dilakukan 1400 tahun yang lalu.

Kita mundur ke belakang, melihat Legenda haji miskin di Ranah Minang di akhir abad 18, mereka melakukan perubahan besar di ranah minang adalah setelah mereka menunaikan haji. KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdhatul Ulama (NU), organisasi keagamaan dan sosial yang menjadi sangat besar dan memberikan sumbangsih sangat besar bagi Indonesia, didirikan oleh beliau, setelah beliau pulang haji. KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyyah, juga setelah beliau pulang haji. HAMKA menulis ‘Di bawah Lindungan Ka’bah’, setelah beliau pulang haji.

Orang-orang hebat tersebut mendapatkan energi besar pada saat mereka menunaikan haji. Sepulang haji, mereka membuat terobosan-terobosan bagi perubahan dan perbaikan bangsanya.

Outcome Mabrur: perbaikan Makanan dan Komunikasi

Yang dikatakan oleh Rasulullah SAW jelas bahwa “Haji yang mabrur, tidak ada balasannya kecuali Surga” (HR. Ahmad). Tetapi ketika ditanya oleh Sahabat, “Apa tanda haji mabrur?”, Rasulullah menjawab, “memberi makan dan memperbaiki perkataan”. Di sini kuncinya, “makanan dan komunikasi”. Bahwa setelah haji maka para jamaah harus memperbaiki kedua hal itu, sampai kelak menjelang wafat mereka.

Makanan dan komunikasi. Sebegitu gamblangnya Rasulullah menekankan kedua hal itu. Maasya Allah, memang kedua hal itulah yang membentuk peradaban manusia. Tidak ada kesinambungan kehidupan tanpa makanan, dan tidak ada peradaban yang akan berkembang tanpa komunikasi. Jika Kissinger mengatakan, “kuasai makanan, kau akan kuasai dunia”, maka Alfin Tofler mengatakan, “kuasai informasi, kau akan kuasai dunia”. Makanan dan komunikasi adalah kunci kehidupan manusia dan pembentuk peradaban manusia.

Dari tanda mabrur yang disampaikan Rasulullah SAW itu kita mengambil hikmah, bahwa Rahasia haji adalah pada perbaikan kehidupan dan peradaban manusia itu sendiri. Haji tidak bisa berdiri sendiri, sebagai ibadah yang hanya bersifat spiritual dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan, organisasi, perusahaan, bisnis, negara dan bangsa; tidak bisa. Haji harus menjadi bagian integral, menjadi spirit dan menjadi api yang menyalakan kemajuan kehidupan dan peradaban manusia.

Dengan demikian, biaya haji bukanlah pengeluaran konsumtif atau spending yang sesaat yang menghabiskan; tidak. Pengeluaran haji adalah investment yang dahsyat, yang mendorong terciptanya kesinambungan kehidupan dan kemajuan peradaban manusia.

Penutup

Maka, pertanyaan yang harus dijawab oleh para jamaah haji, dan juga oleh pemerintah Indonesia dan negara-negara lain, sebagai penyelenggara perjalanan haji adalah, seberapa maksimal return kemajuan kesinambungan kehidupan dan peradaban sudah diperoleh dari investasi haji, yang dilaksanakan setiap tahun. Seberapa besar investasi haji menghasilkan kejayaan bagi masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia?

Dan pertanyaan itu semakin penting untuk dijawab oleh masyarakat Indonesia, karena sebagai negara yang mayoritas Muslim, ternyata Indonesia masih menjadi negara yang lamban dan tertinggal, dengan perkapita yang hanya 4.700 dolar (2023); 3 kali lebih kecil dibanding Malaysia, 20 kali lebih kecil dibanding Singapura. Demikian juga 46 Negara yang mayoritas penduduknya Muslim di dunia, ternyata masih menjadi negara yang tertinggal dibandingkan negara-negara Eropa dan Amerika, serta beberapa negara di Asia Timur yang telah maju.

Dengan keyakinan bahwa Risalah Haji adalah perhelatan yang dahsyat bagi kehidupan, maka jika ada gap antara besarnya biaya dibandingkan dengan hasilnya (outcome-nya), bisa dipastikan bahwa pelaksanaannya lah yang harus terus ditinjau dan diperbaiki. Pastinya, hasil tidak akan terlalu jauh dari prosesnya. Begitulah kita harus bertanya, sejauh mana pelaksanaan haji kita itu sudah proper, sudah sesuai sunnah dan sudah sesuai dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Allah, sehingga haji dapat membentuk manusia yang hebat, kehidupan yang progressif dan peradaban yang gemilang. Wallahu a’lam bisshawwab.

http://greatness2045.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*